Liputan6.com, Jakarta Pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah atau RPP Kesehatan yang merupakan aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Namun salah satu yang dikritisi dalam RPP Kesehatan adalah pasal yang menetapkan zona bebas iklan produk tembakau pada media luar ruang sebesar radius 500 meter di luar satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Ketua Umum Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI), Fabianus Bernadi menyebut bahwa pasal tembakau dalam RPP Kesehatan tersebut sangat rumit untuk diimplementasikan dan akan menimbulkan multitafsir di lapangan.
“Kami sangat menyesalkan adanya pengaturan media luar ruang yang mengharuskan adanya jarak 500 meter di luar satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Hal ini sama saja dengan pelarangan total karena sulit sekali untuk dilaksanakan,” ujar Fabianus di Jakarta.
Fabianus berpendapat beleid ini menunjukkan bahwa pembuat regulasi telah bertindak sepihak.
“Hal-hal seperti ini terjadi karena tidak adanya komunikasi atau pelibatan pemangku kepentingan yang terdampak pada diskusi regulasi, dan sekarang, Menteri Kesehatan (Menkes) terlihat buru-buru merealisasikannya,” tegasnya.
Dari satu pasal itu saja, kata Fabianus, sektor usaha media luar ruang seperti penyedia jasa iklan melalui baliho, reklame, hingga videotron akan tertekan dan 44 persen anggota AMLI di seluruh Indonesia terancam gulung tikar dengan adanya aturan pelarangan iklan produk tembakau di RPP Kesehatan tersebut.
“Usaha media luar ruang akan terancam bangkrut dan ini akan menimbulkan gelombang PHK. Padahal, mayoritas dari presentase tersebut justru adalah anggota kami yang skalanya menengah ke bawah,” tambahnya.
Telah Taat Aturan
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), Janoe Arijanto menegaskan selama ini pelaku industri periklanan telah menaati peraturan dalam mengiklankan produk tembakau dan turunannya.
Adanya rencana aturan baru di RPP Kesehatan terkait pengetatan jam tayang iklan maupun area beriklan produk tembakau hanya akan memunculkan konsekuensi dan berdampak signifikan pada bisnis periklanan.
“Pengaturan iklan rokok sendiri sudah diatur dalam PP 109 Tahun 2012, di mana pengaturannya sudah cukup komprehensif dan kami pun telah patuh terhadap regulasi tersebut,” paparnya.
Untuk itu, Janoe berharap agar pemerintah dapat meninjau ulang aturan tembakau di RPP Kesehatan dan melibatkan pelaku industri periklanan dalam menentukan arah kebijakan tersebut agar kebijakan yang disahkan nantinya dapat berimbang dan ideal.
“Kita ingin mendiskusikan hal ini dengan pemerintah karena serapan tenaga kerja di industri periklanan kan banyak yang berhubungan secara langsung dengan produksi iklan dan penayangan iklan,” pungkasnya.
Reporter: Idris Rusadi Putra
Sumber: Merdeka.com
Ada Rencana Larangan Iklan dan Promosi Produk Tembakau, Industri Periklanan Ketar Ketir
Sebelumnnya, industri periklanan dan kreatif yang tergabung dalam konstituen Dewan Periklanan Indonesia (DPI) menolak adanya pasal-pasal pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.
Hal ini dinilai dapat mengancam keberlangsungan industri periklanan dan kreatif yang memiliki serapan tenaga kerja yang tinggi dan menyebar di seluruh Indonesia.
Wakil Ketua DPI dan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), Janoe Arijanto, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menaati peraturan mengiklankan produk turunan tembakau, sehingga adanya rencana aturan baru di RPP Kesehatan terkait pengetatan jam tayang iklan maupun area beriklan produk tembakau akan memunculkan konsekuensi dan berdampak signifikan pada bisnis periklanan.
“Kita ingin mendiskusikan hal ini karena serapan tenaga kerja di (industri) periklanan kan banyak yang berhubungan secara langsung dengan produksi iklan dan penayangan iklan. Di industri periklanan itu, seperti yang disebutkan sebelumnya, ada sekitar 725 ribu tenaga kerja. Jadi, itu yang akan terdampak,” ungkap Janoe kepada wartawan dalam Konferensi Pers “Pernyataan Sikap Dewan Periklanan Indonesia terhadap Larangan Iklan, Promosi, dan Sponsorship Produk Tembakau pada RPP Kesehatan” di Jakarta, (28/5).
Padahal, Janoe mengungkapkan, rokok merupakan produk legal yang dapat dipasarkan melalui iklan. Maka, rencana pengetatan iklan rokok akan mempengaruhi kinerja industri periklanan, di mana dalam setahun rata-rata industri periklanan dapat memperoleh sekitar Rp9-10 triliun yang didominasi oleh industri rokok.
Janoe juga memperkirakan adanya potensi penurunan yang dapat terjadi jika pembatasan dan penyempitan iklan rokok diberlakukan, maka industri periklanan dapat kehilangan pendapatan hingga Rp9 triliun.
“Peraturan ini akan memberikan multiplier effect dan yang terdampak langsung adalah pihak produksi yang memproduksi berbagai konten, iklan TV, atau iklan lainnya. Itu juga terdampak ya. Jadi, sebenarnya banyak sektor-sektor lainnya yang akan terdampak juga, seperti sektor pemasaran dan lainnya,” terangnya.
Industri Kreatif
Sedangkan di sisi industri kreatif, sebagai industri yang berpotensi terdampak cukup besar dari pembatasan sponsorship produk tembakau, Sekretaris Jenderal Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), Emil Mahyudin, mengatakan pelarangan total sponsorship dari produk tembakau pada kegiatan konser dan festival musik akan berdampak signifikan. Karena sebagian besar, bahkan hampir seluruhnya, kegiatan pertunjukan tidak cukup hanya mengandalkan dari penjualan tiket saja. Namun, salah satunya juga mengandalkan pemasukan sponsor.
“Di Indonesia banyak sekali event yang semuanya terdapat kontribusi dari industri rokok. Bayangkan kalau kita kehilangan pendapatannya, apalagi industri ini baru saja terdampak oleh Covid-19 dan baru mau pulih kembali,” pungkas Emil.
Emil menyatakan APMI juga pernah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta pelibatan industri kreatif dalam pembahasan aturan tembakau di RPP Kesehatan dan bermitra dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk membuka audiensi terkait pelarangan sponsorship produk tembakau tersebut. Namun hingga sekarang, pihaknya masih belum diajak untuk berdiskusi terkait aturan yang dinilai akan mempersulit keberlangsungan industri kreatif.
“Pelarangan-pelarangan bagi produk tembakau yang sekarang sedang digagas di RPP Kesehatan yang mungkin mengacu kepada negara lain itu sebetulnya tidak bisa disamakan dengan apa yang terjadi di Indonesia,” tegasnya.